Jejak Hutan dan Sumber Air Pada Nama-Nama Jalan dan Wilayah di Bandung
BANDUNG- Nama-nama jalan dan wilayah di Kota Bandung dan sekitarnya merepresentasikan kondisi Kota Bandung pada zaman baheula atau dulu. Jalan-jalan seperti Jalan Citarum, Jalan Cihapit, Jalan Ciumbuleuit, Jalan Cikapundung, Jalan Cibiru dan lainnya menunjukkan bahwa dulu Kota Bandung memiliki sumber air yang melimpah, sungai hingga hutan yang mengelilinginya.
Selain itu, terdapat nama wilayah yang menunjukkan bahwa tempat tersebut dahulu merupakan mata air seperti Sekeloa dan Sekelimus. Ci dalam bahasa Sunda berarti cai atau dalam bahasa Indonesia memiliki makna air sedangkan seke berarti mata air.
Namun, seiring waktu seke-seke atau mata air tersebut kering dan hilang akibat kerusakan lingkungan. Sumber-sumber air yang dahulu melimpah kini perlahan menghilang. Bahkan, akibat kerusakan lingkungan membuat dampak negatif seperti banjir sering terjadi di Kota Bandung dan sekitarnya.
Anggota masyarakat geoggrafi nasional Indonesia dan pegiat lingkungan T Bachtiar mengatakan wilayah Jawa Barat dan khususnya cekungan Bandung berlimpah air termasuk sumber air. Sebab, kondisi hutan di sekeliling cekungan Bandung terjaga yang berdampak kepada air yang melimpah.
"Air selalu ada dan banyak jumlahnya air berlimpah, ketika kemarau air berlimpah nah itu yang menyebabkan di cekungan Bandung menjadi banyak air," ucap dia, Kamis (23/5/2024).
Ia mengatakan kondisi wilayah di Kota Bandung yang banyak air berlimpah saat itu membuat masyarakat setempat menamakan wilayahnya dipengaruhi geografis. Sebelum tahun 1960-an air di Kota Bandung melimpah.
"Jadi kalau ci ada yang menunjukkan sungai dan ada menunjukan tempat, Ci menunjukan sungai berarti Ci-mahi tapi begitu nama tempat nulisnya jadi disatukan Cimahi, Citarum," kata dia.
T Bachtiar mencontohkan Ci-Tarum yang menunjukkan sungai berarti air di sungai yang banyak pohon Citarum. Namun seiring tahun 1960-an, keberadaan sungai, dan sumber air hingga hutan di Kota Bandung terganggu.
"Tahun 60-an pertengahan hutan mulai berkurang lalu tahun 1970 mulai rusak," kata dia.
Ia menyebut hutan dijarah, dan ditebangi hingga beralih fungsi dari hutan asli menjadi hutan produksi dan menjadi hutan sayuran. Namun, hutan-hutan tersebut tidak beralih kembali menjadi hutan asli.
"Awal kerusakan tahun 70-an sampai sekarang," kata dia.
Dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, ia mengatakan dampak negatif yang muncul adalah banjir. Keberadaan hutan atau pohon untuk meresap air dan mengikat air.
"Betul, iya tidak ada resapan dan mengikat akar. Pohon fungsinya mengikat tanah mengikat air jadi yang menyebabkan berlimpah air karena itu," kata dia.
Fauzi Ridwan